PANGKEP SULSEL - Ketua Dewan Pimpinan Daerah ( DPD) Jurnalis Nasional Indonesia ( JNI ) Cabang Kabupaten Pangkep Herman Djide saat diajak konsultasi Kamis (20/3/2025) di Pangkajene tentang peranan komunitas di tengah tengah masyarakat yang kini mulai bermunculan.
Herman Djide berkata bahwa kalau masyarakat Jepang memiliki cara unik dalam membangun komunitas dalam setiap program atau proyek yang mereka jalankan. Keberhasilan mereka tidak hanya terletak pada struktur yang rapi, tetapi juga pada nilai-nilai sosial yang melekat kuat dalam budaya mereka. Melalui konsep kerja sama, tanggung jawab bersama, dan keterlibatan aktif warga, Jepang mampu menciptakan lingkungan yang mendukung keberlanjutan setiap program yang mereka jalankan.
Lanjut Pimpinan Redaksi Media Indonesia Satu perwakilan Kabupaten Pangkep, yang di juluki media seribu portal ini berkata bahwa salah satu konsep utama yang digunakan adalah Ba (場), yaitu ruang fisik atau virtual yang memungkinkan orang berkumpul dan berkolaborasi. Dengan menciptakan tempat bertukar ide dan pengalaman, Jepang memastikan bahwa setiap individu dalam komunitas merasa memiliki peran dalam proyek yang sedang dijalankan. Hal ini juga meningkatkan keterlibatan dan tanggung jawab sosial.
Selain itu, budaya gotong royong yang dikenal sebagai Kyōdō (協同) menjadi faktor kunci dalam membangun komunitas yang kuat. Jepang mengajarkan warganya untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama, baik dalam skala kecil seperti kegiatan lingkungan, maupun dalam proyek besar seperti revitalisasi daerah. Rasa kebersamaan ini diperkuat dengan konsep Gaman (我慢), yaitu ketahanan dalam menghadapi tantangan bersama.
Kemudian soal Pendidikan berbasis komunitas juga menjadi strategi penting dalam membangun keterlibatan warga. Sekolah dan universitas di Jepang sering kali mengintegrasikan program-program sosial dalam kurikulum mereka. Mahasiswa dan siswa diajak untuk terlibat langsung dalam proyek revitalisasi desa, pengelolaan lingkungan, atau inovasi sosial yang melibatkan komunitas setempat. Dengan demikian, generasi muda sejak dini sudah terbiasa untuk berkontribusi dalam pembangunan komunitas.
Dalam struktur sosialnya, Jepang juga menerapkan sistem Senpai-Kohai (先輩-後輩), di mana para senior bertanggung jawab membimbing generasi muda. Pola ini sangat efektif dalam menjaga kesinambungan komunitas, karena pengetahuan dan pengalaman diwariskan secara langsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hubungan ini menciptakan rasa tanggung jawab untuk saling mendukung demi keberlanjutan program yang dijalankan.
Jepang juga aktif menggunakan festival dan acara komunitas sebagai sarana mempererat hubungan sosial. Matsuri (祭り) atau festival tradisional sering kali dijadikan sebagai ajang untuk memperkuat kebersamaan masyarakat. Selain melestarikan budaya, acara ini juga mendorong keterlibatan warga dalam berbagai proyek komunitas, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Menurut mantan Ketua Dewan Pimpinan Daerah ( DPD) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia ( PKPI) bahwa dalam perencanaan tata kota atau pembangunan daerah, Jepang menerapkan pendekatan Machizukuri (まちづくり), yaitu metode pembangunan berbasis partisipasi warga. Dalam model ini, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat dari kebijakan pemerintah, tetapi juga menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan melibatkan warga secara aktif, proyek yang dijalankan lebih berkelanjutan karena ada rasa memiliki dari komunitas.
Pendekatan ini juga bisa diterapkan dalam pengembangan wisata berbasis kebun dan rawa-rawa, seperti yang sedang Anda pertimbangkan. Dengan menciptakan ruang berkumpul bagi masyarakat setempat, melibatkan warga dalam pengelolaan, serta mengadakan festival atau acara tematik, wisata berbasis komunitas dapat berkembang lebih baik dan bertahan dalam jangka panjang.
Penerapan pendidikan berbasis komunitas juga bisa menjadi kunci keberhasilan. Misalnya, bekerja sama dengan sekolah atau universitas untuk mengajak pelajar meneliti ekosistem rawa-rawa atau mengembangkan produk berbasis pertanian lokal. Ini tidak hanya meningkatkan kepedulian lingkungan, tetapi juga membuka peluang inovasi baru dalam sektor wisata.
Sistem bimbingan seperti Senpai-Kohai juga dapat diterapkan dalam program wisata. Para petani atau warga senior yang lebih berpengalaman bisa membimbing generasi muda dalam mengelola kebun atau rawa-rawa. Dengan cara ini, pengetahuan lokal tetap lestari dan wisata berbasis komunitas dapat berkembang dengan baik tanpa kehilangan nilai tradisionalnya.
Menggunakan pendekatan Machizukuri, masyarakat setempat bisa dilibatkan dalam setiap tahap pengembangan wisata. Dengan memberikan ruang bagi warga untuk menyampaikan ide, serta memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat langsung dari proyek yang dijalankan, akan muncul rasa kepemilikan yang kuat. Ini akan memperkuat dukungan komunitas terhadap program wisata yang sedang dikembangkan.
Festival atau acara komunitas juga bisa menjadi alat promosi yang efektif. Misalnya, mengadakan festival panen di kebun atau acara edukasi tentang ekosistem rawa. Selain menarik wisatawan, acara semacam ini juga meningkatkan rasa kebersamaan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Melalui pendekatan Jepang dalam membangun komunitas, kita dapat belajar bahwa keberhasilan sebuah program bukan hanya bergantung pada faktor ekonomi atau teknologi, tetapi juga pada keterlibatan masyarakat. Dengan mengadaptasi metode yang mereka gunakan, seperti menciptakan ruang kolaboratif, menerapkan gotong royong, dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, kita bisa membangun komunitas yang kuat dan berkelanjutan dalam setiap program yang dijalankan.( Bunga)